Modal Awal David Yuwono Rp 800 Ribu, Kini
Omzetnya Rp 800 Juta.
Meski
masih belia, David Yuwono akrab dengan dunia bisnis. Sejak usia 19 tahun, dia
bertekad untuk mencari uang sendiri. Tapi siapa sangka, kebulatan tekad untuk
berpenghasilan ini lantaran terpicu celetukan sang ayah.
Awalnya,
David menjual spageti, yang dimasak oleh pembantunya, di kampus. “Jadi,
teman-teman tak perlu pergi ke kantin,” ujar pria yang baru lulus dari
Universitas Prasetiya Mulya, Desember 2013.
David
juga pernah menjajal profesi sebagai agen asuransi dan broker properti. Dia pun
tak segan jualan saringan air ke toko-toko bangunan dan jualan buku. “Pokoknya,
apa yang bisa menjadi duit, saya jalanin,” kata dia. Bahkan, ia pernah juga
berjualan kue bersama teman-teman, walau akhirnya bubar.
Berbagai
pengalaman berbisnis itu, ternyata memupuk kejelian David untuk mencium
peluang. Ketika melihat anak-anak muda gemar memakai celana jins berbahan dry
denim, tebersitlah ide untuk membuat tas dari bahan serupa.
Kebetulan,
saat itu, memang belum ada produsen tas yang memanfaatkan dry denim. Ini adalah
sejenis kain jins mentah, yang membentuk corak dan warna unik sebelum pencucian
pertama kali. “Jadi, semakin lama dipakai, justru makin keren. Tas itu, kan,
juga jarang dicuci,” jelas David.
April
2011, dengan modal Rp 800.000 dari tabungannya, David membuat delapan tas
sebagai contoh. Karena mengandalkan bahan yang sedang populer, David memilih
bikin model tas ransel yang simpel.
Sesuai
dengan bahan yang dipakai, David menyematkan merek Dry Bag pada produknya. Tak
lupa, dia menciptakan tagline ‘makin
brutal kamu pakai, makin keren’ untuk mengokohkan brand Dry Bag.
Karena
sudah mengenyam pengalaman sebagai penjual, David tak kesulitan menerapkan
strategi pemasaran. “Intinya, saya harus menciptakan orang-orang yang seperti
saya sebagai penjual,” cetus dia yang juga membawa sendiri tasnya.
Dimulai
dari lingkaran terdekat, David meminta sejumlah teman untuk memakai tasnya. Tak
ketinggalan, lulusan SMA Gonzaga ini juga minta tolong adik kelasnya di sekolah
tersebut menjadi kepanjangan tangan. Tentu saja, ada iming-iming komisi jika
mereka berhasil menjual tas tersebut.
Selain
mahasiswa, David memang membidik pasar dari pelajar SMA. Karena itu, dia
menetapkan harga yang tak mahal, yakni Rp 140.000 per tas. “Saya harus menyesuaikan harga ini
sesuai dengan kantong mereka,” ujarnya.
Ternyata,
tas David mendapat respons cukup baik, terutama dari pelajar SMA. “Tiga hari
di Gonzaga, bisa laku 130 tas. Mereka suka bahan dry denim, meski terlihat
lusuh,” cetus David. Sepanjang 2011
itu, dia berhasil mencicipi untung hingga Rp 12 juta.
Harga yang Sesuai Pasaran
Sayang,
roda bisnis yang siap berlari ini harus menghadapi rintangan. Pada akhir 2011,
David melihat kualitas tasnya menurun. “Terutama, pada aksesori pengait
tas,” kata dia.
David
memang tak membuat sendiri produknya. Dia mengajak penjahit langganannya
menjadi pemasok tas. “Jadi, saya hanya menunjukkan bahan dan model, lantas
penjahit itulah yang membuat tas sekaligus mencari bahan dan aksesori-nya,”
terang pria berpenampilan low profile ini.
David
pun sempat bingung ketika kualitas Dry Bag-nya semakin menurun. Dia tak ingin
mengecewakan para distributor dan konsumennya. Lantas, dengan pinjaman modal
dari sang ayah, sebesar Rp 20 juta, David memutuskan untuk membuat workshop
sendiri. Rumah sang orangtua di Cinere disulapnya menjadi workshop, sekaligus
kantor.
Beruntung,
seorang penjahit berpengalaman mau bergabung dalam workshop David. Alhasil,
David tak menemui kesulitan di saat-saat awal merintis produksi tas sendiri
pada Januari 2012. Dia pun kembali kembali fokus memperluas penjualan dan
pengembangan usahanya.
Tak
terbatas dengan bahan dry denim, David juga mulai merambah bahan jeans japan
dan cordura. Model tas pun terus berkembang. Kini, dia juga membuat tas
slempang dan tas ransel berkapasitas besar untuk kebutuhan traveling.
Bukan
hanya tas, David yang kian lincah berbisnis ini juga mengendus peluang untuk
menjual sepatu. Sejak pertengahan 2012, dia mulai berbisnis sepatu kulit dengan
merek SuedeShoe. Namun, dia hanya mengincar konsumen pria untuk produk alas
kaki ini. “Karena, perempuan lebih pandai berbelanja,” celetuk dia beralasan.
Produk
berkualitas dan harga yang pas menjadi senjatanya untuk bergerilya merebut
pasar. Khususnya, dalam soal harga, David mengaku, pertimbangannya harus
benar-benar matang. “Itu salah satu kunci merebut pasar,” ujar dia.
Karena itu, meski berbahan kulit asli, banderol sepatunya hanya berkisar Rp
200.000-an.
Seiring
dengan perkembangan bisnisnya, David juga kembali menjalin kerjasama dengan
pemasok. Bahkan, hampir 80% produknya
dipesan dari para supplier-nya, sehingga dia tetap bisa berkonsentrasi dalam
pemasaran. David ingin mengembangkan pasarnya hingga ke luar negeri. Itu sebabnya, selain penjualan lewat reseller
dan distributor, dia rajin menggarap media-media penjualan online. Produknya
pun terpampang di sejumlah gerai online, semacam Lazada dan Kaskus.
Tak
heran, setelah tiga tahun menjadi pengusaha, salah satu pemenang lomba
pengusaha muda yang diadakan salah satu
bank ini mampu mendulang omzet berkisar Rp 800 juta sepanjang 2013 lalu.
Meminimalkan Modal
Membagi
waktu antara kuliah dan bekerja bukan
perkara yang mudah. Apalagi, jika itu harus dilakukan di masa muda, saat
seseorang cenderung menghabiskan waktu untuk bersenang-senang bersama
teman-temannya.
David
Yuwono, yang merintis bisnisnya sejak semester tiga duduk di bangku kuliah, pun
harus merelakan sebagian waktunya untuk bermain bersama teman. Sebab, dia harus
pandai membagi waktu, supaya bisa menjalankan bisnis sembari menyelesaikan
kuliah.
David
pun bercerita, dulu, dia kerap mengorbankan waktu bermain bersama teman-teman.
“Kalau istirahat, saya jalan kaki, mengambil pesanan tas ke penjahit yang
kebetulan tak jauh dari kampus,” ujar dia.
Dia
memilih mengorbankan waktu bermain, karena tetap ingin menyelesaikan kuliahnya
tepat waktu. Nyatanya, David lulus tepat waktu, yakni empat tahun, dengan
indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,09. “Saya juga tak pernah mengulang mata
kuliah,” ujar dia.
Selain
memanfaatkan waktu sebaik mungkin, dengan menjalani usaha sewaktu kuliah, David
juga lebih menghargai nilai uang. Sebab, dengan menghasilkan uang sendiri, dia
sadar sulitnya mencari uang. “Dorongan saya untuk punya penghasilan sendiri
juga karena terlintas pikiran jika sudah tidak ada orangtua yang menopang hidup
saya,” kata dia.
David
enggan menggelontorkan banyak uang untuk memodali bisnisnya. Ia memegang teguh
prinsip: sebisa mungkin mengeluarkan modal bernilai kecil, bila perlu nol
rupiah. “Kalau perlu modal dengkul, seandainya jatuh tidak sakit. Tapi,
dengan modal sedikit dan perusahaan bangkit, itulah yang sulit,” ujar dia.
Lantaran
itu pula, David tidak pernah berhenti belajar. Setiap terjun ke bisnis baru
merupakan tahap pembelajaran baginya. “Enggak perlu takut jika produk
awalnya kurang bagus. Jika tekun, pasti
akan memperoleh hasil lebih baik,” kata dia.
Dia
belajar untuk membuat gerai penjualan online sendiri. “Dengan membuat
sendiri, akan lebih fleksibel untuk menambah produk-produk baru,” kata
David yang membuat sendiri lapak situs mobile-nya: m.newtasdry-denim.com